Senin, 07 Maret 2011

iklim kabupaten banyuwangi

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Geografi Regional Indonesia

yang dibina oleh Bapak Marhadi Slamet Kistianto

Oleh:

Heru Subagio

(207821412117)



UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN GEOGRAFI

Desember, 2010



KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur pemakalah panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah iklim kabupaten Banyuwangi dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah geografi regional Indonesia yang dibimbing oleh Bapak Marhadi Slamet Kistianto.

Dalam kesempatan ini pemakalah menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu mulai awal penulisan hingga menjadi makalah yang dapat bermanfaat bagi semua pihak. Makalah ini berjudul “iklim kabupaten Banyuwangi”, di mana di dalamnya memuat deskripsi umum kabupaten Banyuwangi, iklim menurut junghun, iklim menurut koopen, iklim menurut smith-ferguson, iklim menurut oldeman, iklim menurut mohr, iklim menurut thornwite, dan klimatograph.

Pemakalah menyadari dalam penulisan makalah ini masih ada kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat pemakalah harapkan untuk kesempurnaan pada penulisan berikutnya dan pengayaan wawasan penyusun.

Semoga makalah ini dapat memberi manfaat pada yang membacanya. Amin


Malang, Oktober 2010


Pemakalah



DAFTAR ISI



Halaman


PEMBAHASAN


  1. KONSEP CUACA DAN IKLIM

Cuaca dan iklim merupakan satu kesatuan keadaan udara yang yang dipengaruhi oleh letak geografis suatu wilayah. Cuaca yaitu keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relative sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari gabungan unsure cuaca dan jangka waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja. Misalnya: pagi hari, siang hari atau sore hari, dan keadaaannya bisa berbeda-beda untuk setiap tempat serta setiap jamnya. Di Indonesia keadaan cuaca selalu diumumkan untuk jangka waktu sekitar 24 jam melalui prakiraan cuaca yang dikembangkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untuk Negara-negara yang sudah maju perubahan cuaca sudah diumumkan setiap jam dan sangat akurat (tepat).

Iklim yaitu keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (± minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang sangat luas. Iklim dapat terbentuk karena adanya:

  1. Rotasi dan revolusi bumi, sehingga terjadi pergeseran semu harian matahari dan tahunan

  2. Perbedaan lintang geografi dan lingkungan fisis. Perbedaan ini menyebabkan timbulnya penyerapan panas matahari oleh bumi sehingga besar pengaruhnya terhadap kehidupan di bumi.

Matahari adalah kendali iklim yang sangat penting dan sumber energi di bumi yang menimbulkan gerak udara dan arus laut. Kendali iklim yang lain, misalnya distribusi darat dan air, tekanan tinggi dan rendah, massa udara, pegunungan, arus laut dan badai.

Unsur-unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah, yaitu: suhu atau temperature udara, tekanan udara, angin, kelembaban udara, dan curah hujan.



  1. Suhu atau temperature udara

Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut thermometer. Biasanya pengukuran dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Suhu udara tertinggi di muka bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub, makin dingin. Di lain pihak, pada waktu kita mendaki gunung, suhu udara terasa dingin jika ketinggian bertambah. Kita sudah mengetahui bahwa tiap kenaikan bertambah 100 meter, suhu udara berkurang (turun) rata-rata 0,6o C. Penurunan suhu semacam ini disebut gradient temperatur vertikal atau lapse rate. Pada udara kering, besar lapse rate adalah 1o C. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah adalah:

a. Lama penyinaran matahari.

b. Sudut datang sinar matahari.

c. Relief permukaan bumi.

d. Banyak sedikitnya awan.

e. Perbedaan letak lintang.


  1. Tekanan Udara

Kepadatan udara tidak sepadat tanah dan air. Namun udarapun mempunyai berat dan tekanan. Besar atau kecilnya tekanan udara, dapat diukur dengan menggunakan barometer. Orang pertama yang mengukur tekanan udara adalah Torri Celli (1643). Alat yang digunakannya adalah barometer raksa. Tekanan udara menunjukkan tenaga yang bekerja untuk menggerakkan masa udara dalam setiap satuan luas tertentu. Tekanan udara semakin rendah apabila semakin tinggi dari permukaan laut.

Garis pada peta yang menghubungkan tempat-tempat yang sama tekanan udaranya disebut isobar. Bidang isobar ialah bidang yang tiap-tiap titiknya mempunyai tekanan udara sama. Jadi perbedaan suhu akan menyebabkan perbedaan tekanan udara. Daerah yang banyak menerima panas matahari, udaranya akan mengembang dan naik. Oleh karena itu, daerah tersebut bertekanan udara rendah. Ditempat lain terdapat tekanan udara tinggi sehingga terjadilah gerakan udara dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Gerakan udara tersebut dinamakan angin.

  1. Angin

Angin adalah udara yang bergerak. Ada tiga hal penting yang menyangkut sifat angin yaitu:

• Kekuatan angin

• Arah angin

• Kecepatan angin

a. Kekuatan Angin

Menurut hukum Stevenson, kekuatan angin berbanding lurus dengan gradient barometriknya. Gradient baromatrik ialah angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara dari dua isobar pada tiap jarak 15 meridian (111 km).

b. Arah Angin

Satuan yang digunakan untuk besaran arah angin biasanya adalah derajat.

1 derajat untuk angin arah dari Utara.

90 derajat untuk angin arah dari Timur.

180 derajat untuk angin arah dari Selatan.

270 derajat untuk angin arah dari Barat.

Angin menunjukkan dari mana datangnya angin dan bukan ke mana angin itu bergerak. Menurut hukum Buys Ballot, “udara bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi (maksimum) ke daerah bertekanan rendah (minimum), di belahan bumi utara berbelok ke kanan sedangkan di belahan bumi selatan berbelok ke kiri.

Arah angin dipengaruhi oleh tiga faktor:

1) Gradient barometrik

2) Rotasi bumi

3) Kekuatan yang menahan (rintangan)

c. Kecepatan angin

Atmosfer ikut berotasi dengan bumi. Molekul-molekul udara mempunyai kecepatan gerak ke arah timur, sesuai dengan arah rotasi bumi. Kecepatan gerak tersebut disebut kecepatan linier. Bentuk bumi yng bulat ini menyebabkan kecepatan linier makin kecil jika makin dekat ke arah kutub.

3. Kelembaban Udara

Di udara terdapat uap air yang berasal dari penguapan samudra (sumber yang utama). Sumber lainnya berasal dari danau-danau, sungai-sungai, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Makin tinggi suhu udara, makin banyak uap air yang dapat dikandungnya. Hal ini berarti makin lembablah udara tersebut. Alat untuk mengukur kelembaban udara dinamakan hygrometer atau psychrometer.

Ada dua macam kelembaban udara:

  1. Kelembaban udara absolut, ialah banyaknya uap air yang terdapat di udara pada suatu tempat. Dinyatakan dengan banyaknya gram uap air dalam 1 m³ udara.

  2. Kelembaban udara relatif, ialah perbandingan jumlah uap air dalam udara (kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat dikandung oleh udara tersebut dalam suhu yang sama dan dinyatakan dalam persen (%).


4. Curah Hujan

Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain gauge. Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan. Curah hujan yang jatuh di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

- bentuk medan/topografi

- arah lereng medan

- arah angin yang sejajar dengan garis pantai

- jarak perjalanan angin di atas medan datar

Hujan ialah peristiwa sampainya air dalam bentuk cair maupun padat yang dicurahkan dari atmosfer ke permukaan bumi. Garis pada peta yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang sama disebut Isohyet.

  1. DESKRIPSI WILAYAH BANYUWANGI

Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Wilayah Banyuwangi cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Letak lintang yakni 7 43' - 8’46’ LS dan 113 53’ – 114 38’ BT. Bagian utara berbatasan dengan Situbondo, bagian timur berbatasan dengan selat Bali, bagian selatan berbatasan dengan samudera Indonesia, dan bagian barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan Bondowoso. Wilayah dengan luas 578.250 Ha atau 5.782,50 Km2 ini memiliki dataran tinggi ijen dengan puncaknya Gunung Raung dengan ketinggian 3.282 m dan gunung merapi dengan ketinggian 2800 m. Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan zaman belanda yang berperan penting dalam mempengaruhi keadaan cuaca di wilayah Banyuwangi. Berikut ini adalah pemanfaatan lahan kering yang ada di Banyuwangi

No

Penggunaan lahan

Luas

1

Hutan

183.396,42 Ha


  • Hutan lindung

38.103,56 Ha


  • Hutan produksi

79.851,53 Ha


  • Hutan konservasi

65.439,25 Ha


  • Hutan kritis

0,00 Ha

2

Persawahan

66.675,00 Ha


  • Sawah irigasi

66.675,00 Ha


  • Sawah tadah hujan

0,00 Ha

3

Lahan kering

225.382,09 Ha


  • Perkebunan

81.805, 31 Ha


  • Pemukiman

125.240,95 Ha


  • Tanah rusak

338.00 Ha

4

Dan lain-lain

102.796,57 Ha

Tabel data penggunaan lahan wilayah Banyuwangi

Banyuwangi terletak di ketinggian 0-1000 meter di atas permukaan laut (dpl). Kemiringan lereng kabupaten Banyuwangi lebih dari 40 %. Beberapa sungai yang ada di banyuwangi, yakni: sungai Bajulmati (20 Km), sungai Selogiri (6, 173 Km), sungai Ketapang (10,26 Km), sungai Sukowidi (15, 83 Km), sungai Bendo (15, 83 Km), sungai Setail (73, 35 Km), sungai Baru (80, 70 Km), Sungai Bango (18 Km), sungai Bomo (7, 417 Km), dan sungai-sungai kecil lainnya yang tidak bisa disebutkan secara keseluruhan.

Jenis tanah di Banyuwangi berdasarkan struktur geologinya terdapat berbagai susunan. Berikut adalah data mengenai struktur geologi kabupaten banyuwangi

No

Struktur geologi

Luas

1

Aluvium

134.525,00 Ha

2

Hasil gunung api kwarter muda

170.310, 50 Ha

3

Hasil gunung api kwarter tua

59.283,00 Ha

4

Andesit

47.417,75 Ha

5

Miosen falses semen

89.536,25 Ha

6

Miosen falses gamping

77.536,50 Ha

Tabel data struktur geologi kabupaten Banyuwangi

No

Jenis tanah

Luas

1

Regosol

138.490,87 Ha

2

Lithosol

39.031,88 Ha

3

Lathosol

14.109,30 Ha

4

Podsolik

348.684,75 Ha

5

Gambut

37.433,70 Ha

Tabel keadaan jenis tanah kabupaten banyuwangi

Keadaan krimatologi Banyuwangi berada di selatan garis equator dan dikelilingi oleh laut jawa, selat Bali, dan samudera Indonesia yang terbagi menjadi dua musim, yakni: musim kemarau antara bulan april-oktober dan musim penghujan antara bulan oktober-april. Diantara kedua musim ini terdapat musim peralihan pancoroba sekitar bulan april/mei dan oktober/nofember dengan curah hujan rata-rata 7,644 mm per bulan dengan bulan kering yakni april, september, oktober.


  1. DATA SUHU, HUJAN, DAN PENGUAPAN KABUPATEN BANYUWANGI

Pemantauan keadaan cuaca dan iklim kabupaten Banyuwangi di lakukan di stasiun Meteorologi banyuwangi yang berada pada koordinat 008 13’ LS dan 114 23’ BT dengan elevasi 50 m dpl. Berikut adalah data cuaca bulanan mulai tahun 2004 sampai tahun 2008 kabupaten Banyuwangi

No

Bulan

Suhu

Hujan

Rata2 penguapan (mm)

Rata2 (oC)

Rata2 (oF)

Rata2 CH (mm)

Rata2 CH (inchi)

Hari hujan

1

Januari

27,4

81,4

152,34

6,09

17

144

2

Februari

27,2

81,1

258,66

10,34

18

139

3

Maret

27,0

81,0

268,98

10,75

20

139

4

April

27,5

81,6

132,7

5,31

15

137

5

Mei

27,1

81,0

86,62

3,46

12

130

6

Juni

26,3

80,0

50,64

2,02

10

117

7

Juli

25,6

78,3

27

1,08

9

122

8

Agustus

25,6

78,0

42,86

1,71

15

133

9

September

26,1

79,0

15,86

0,63

4

151

10

Oktober

26,4

81,0

34,54

1,38

6

162

11

Nofember

27,8

82,3

54,12

2,16

11

159

12

Desember

27,4

81,5

142,14

5,68

18

145

Jumlah



1266,46

50,65


1681

Rata-rata

26,78

80,51



13

141

Tabel cuaca bulanan kabupaten Banyuwangi tahun 2004-2008

Keterangan tabel:

  • mm ke inchi dibagi 25

  1. ANALISIS DATA

    1. IKLIM KABUPATEN BANYUWANGI MENURUT W. KOEPEN

W. Koeppen (1816-1940) menentukan iklim berdasarkan curah hujan rata-rata bulanan dan tahunan. Vegetasi dipandang sebagai instrumen klimatologis, sehingga batas-batas tipe iklim sesuai dengan batas-batas vegetasi. Berikut ini adalah hasil penentuan tipe iklim kabupaten Banyuwangi.

  • Rata-rata curah hujan tahunan (inchi) = 50.65 inchi

  • Rata-rata curah hujan bulan terkering (inchi) = 0.63 inchi

Bagan Iklim kabupaten Banyuwangi menurut W. Koeppen

Jadi, berdasarkan perhitungan dan penentuan iklim menurut W. koepen, dapat disimpulkan bahwa kabupaten banyuwangi beriklim Aw (tropis basah kering).

    1. IKLIM KABUPATEN BANYUWANGI MENURUT SCHMIDT-FERGUSON

Schimdt dan Ferguson (1951) menerima metode Mohr dalam menentukan bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah, tetapi cara perhitungannya berbeda. Beliau menghitung jumlah bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah dari tiap-tiap tahun kemudian diambil rata-ratanya.

Untuk menentukan jenis iklimnya, Scmidt-Ferguson menggunakan harga Q yang didefinisikan sebagai berikut:

Keterangan:

  • Bulan kering = CH <>

  • Bulan basah = CH > 100 mm

Kriteria jenis iklim Scmidt-Ferguson

  1. 0 ≤ Q < 143 =" sangat">

  2. 0,143 ≤ Q < 333 ="">

  3. 0,333 ≤ Q < 600 =" agak">

  4. 0,600 ≤ Q < 000 ="">

  5. 1,000 ≤ Q < 670 =" agak">

  6. 1,670 ≤ Q < 000 ="">

  7. 3,000 ≤ Q < 000 =" sangat">

  8. 7,000 ≤ Q = luar biasa kering


2004

2005

2006

2007

2008

Rata-rata

Bulan kering

6

4

4

4

9

5

Bulan basah

6

5

5

6

3

5

Tabel bulan kering dan bulan basah

= 100 %





















Jadi berdasarkan perhitungan dan penentuan iklim menurut Scmidt-Ferguson, kabupaten Banyuwangi beriklim E (Agak kering).



    1. IKLIM KABUPATEN BANYUWANGI MENURUT MOHR

Berdasarkan penelitian tanah, Mohr membagi tiga derajat kelembapan dari bulan-bulan sepanjang tahun, yaitu:

      1. Jika curah hujan dalam 1 bulan lebih dari 100 mm, maka bulan ini dinamakan bulan basah; jumlah curah hujan ini melampaui penguapan.

      2. Jika curah hujan dalam 1 bulan kurang dari 60 mm, maka bulan ini dinamakan bulan kering; penguapan banyak berasal dari dalam tanah daripada jumlah curah hujan. Dalam hal ini penguapan lebih banyak daripada curah hujan.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka dicari bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah setiap tahun, sehingga ditemukan 5 golongan iklim, yaitu:

  1. Golongan I : daerah basah, yaitu daerah yang hampir tidak terdapat bulan kering

  2. Golongan II : daerah agak basah, yaitu daerah dengan bulan kering 1-2 bulan

  3. Golongan III : daerah agak kering, yaitu daerah dengan bulan kering -4 bulan

  4. Golongan IV : daerah kering, yaitu terdapat 5-6 bulan kering

  5. Golongan v : daerah sangat kering, dengan bulan kering > 6 bulan

Berdasarkan tabel cuaca bulanan kabupaten Banyuwangi tahun 2004-2008 dapat diambil kesimpulan bahwa kabupaten Banyuwangi beriklim (golongan iv) yakni daerah kering karena terdapat 6 bulan kering.

    1. IKLIM KABUPATEN BANYUWANGI MENURUT JUNGHUN

Junghun melakukan klasifikasi iklim di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat dihubungkan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Banyuwangi terletak pada ketinggian 0-1000 m dpl. Berdasarkan pembagian iklim menurut Junghun, maka Banyuwangi beriklim panas (zone panas).

    1. IKLIM KABUPATEN BANYUWANGI MENURUT OLDEMAN

Klasifikasi iklim menurut Oldeman didasarkan pada keberurutan bulan basah dan bulan kering tanpa memperhitungkan suhu (suhu diabaikan). Berbeda dengan Mohr dan Schmidt-Ferguson, Oldeman menetapkan bahwa bulan basah adalah bulan dengan curah hujan rata-rata 200 mm atau lebih, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm.

Oldeman membuat klasifikasi iklim dengan tujuan membantu usaha pertanian terutama tanaman padi, berdasarkan urutan bulan basah dan bulan kering.

Berdasarkan data yang sudah dijelaskan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Kabupaten banyuwangi beriklim tipe E4 karena terdapat 2 bulan basah dan 7 bulan kering.



DAFTAR PUSTAKA

Data Curah Hujan Banyuwangi. 1997-2008. Banyuwangi: Badan Meteorologi dan Geofisika

Modul Online. Atmosfer (Cuaca dan Iklim). Diakses tanggal 16 Oktober 2008

Slamet Kristiyanto, Marhadi. 2004. Geografi Regional Indonesia (Bagian Alamiah). Malang: Universitas Negeri Malang

www.google.co.id. Banyuwangi Map. Diakses tanggal 15 November 2009


evolusi bintang

Pembahasan

  1. Evolusi Bintang

Bintang merupakan benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri. Lalu yang dimaksud evolusi bintang adalah perubahan perlahan-lahan sejak suatu bintang terjadi sampai menjadi bintang yang stabil, kemudian memasuki deret utama dalam waktu yang lama, kemudian menjadi bintang raksasa merah, lalu mengalami keadaan degenerasi, seterusnya melontarkan sebagaian masanya bagian luar dan membentuk masa kecil dengan kerapatan yang besar. Sampai menjadi bintang neutron dan black hole melalui beberapa tahapan.


  1. Sumber Energi Bintang

Di pertengahan abad ke-19, Lord Kelvin dan Hermann von Helmholtz, dengan menggunakan teori konservasi energi mempostulatkan bahwa energi yang dihasilkan Matahari berasal dari pengerutan gravitasi. Proses pengerutan mengubah energi gravitasi menjadi energi panas dan meningkatkan suhu di inti Matahari.

Perkembangan fisika kuantum, menelurkan teori baru akan pembangkitan energi di dalam bintang. Adalah Sir Arthur Eddington pada 1920 yang mengemukakannya untuk pertama kali, melibatkan dua proton yang bergabung untuk membentuk satu inti helium dikuti dengan pelepasan energi. Pada 1939, Hans Bethe mengemukakan mekanisme daur proton-proton untuk pembangkitan energi di dalam bintang sekelas matahari, melengkapi teori mekanisme daur karbon-nitrogen-oksigen yang dikemukakan sebelumnya pada 1938 oleh Carl Friedrich von Weizsäcker.

Gbr 1. Reaksi terbentuknya bintang

Ketika Eddington mengungkapkan usulannya untuk pertama kali, didapati bahwa tekanan dan temperatur Matahari tidak cukup tinggi untuk melangsungkan pembakaran fusi hidrogen. Bethe melihat bahwa efek terowong dalam fisika kuantum dapat mengatasi masalah ini, sehingga reaksi fusi dapat terjadi dalam lingkungan dengan temperatur dan tekanan yang tidak terlalu tinggi. Daur proton-proton yang diusulkan oleh Hans Bethe adalah reaksi fusi yang tidak terlalu peka terhadap suhu dan berlangsung dengan lambat. Daur ini juga yang membuat bintang-bintang sekelas matahari dan yang lebih kecil dapat berumur jauh lebih panjang.

Di lain pihak, daur karbon-nitrogen-oksigen berlangsung pada temperatur dan tekanan yang tinggi yaitu saat energi kinetik mampu mengatasi penghalang gaya Coulomb. Daur karbon-nitrogen-oksigen berlangsung dengan laju cepat, sehingga sekali bintang memiliki cukup tekanan dan temperatur, daur ini akan lebih dominan ketimbang rantai proton-proton. Dengan daur CNO, terjadi semacam siklus melingkar, semakin tinggi temperatur, semakin cepat reaksi berlangsung, dan semakin cepat reaksi berlangsung, semakin tinggi temperatur. Daur ini yang dominan terjadi pada bintang-bintang yang lebih masif daripada matahari.

Perbedaan mekanisme fusi nuklir di dalam bintang ini akan membuat perbedaan struktur bintang antara yang bermassa lebih kecil dari matahari dan yang lebih besar.

Bintang yang temperatur pusatnya dua kali lebih tinggi daripada matahari menghasilkan energi dari daur karbon seribu kali lebih besar daripada matahari, sedangkan energi dari reaksi proton-proton hanya sekitar lima kali lebih besar. Bintang di deret utama bagian atas mempunyai temperatur pusat lebih tinggi daripada yang di deret utama bagian bawah. Jadi untuk bintang deret utama bagian atas pembangkitan energi terutama berasal dari reaksi daur karbon, sedangkan di bagian bawah (seperti matahari) terutama dari reaksi proton-proton. Tak ada batas tajam untuk deret utama bagian atas dan bagian bawah, batasnya berkisar antara massa 2,5 dan 1,5 Mʘ.

Pembangkitan energi pada bintang-bintang sekelas matahari atau yang lebih kecil, terutama ditempuh melalui mekanisme rantai proton-proton yang tidak terlalu peka terhadap suhu. Hal ini menyebabkan temperatur pada lapisan-lapisan di bagian inti tidak terlalu jauh berbeda sehingga konveksi tidak terjadi. Energi di bagian inti diangkut keluar dengan cara radiasi.

Sebaliknya di bagian luar bintang, temperatur cukup rendah sehingga mengijinkan atom hidrogen berada dalam keadaan netral. Pada satu titik di dalam bintang antara inti dan permukaan, foton-foton berenergi tinggi dalam panjang gelombang ultra violet yang diradiasikan dari inti kemudian diserap oleh hidrogen-hidrogen netral untuk mengionisasi diri, sehingga seolah-olah lapisan ini menjadi tidak tembus cahaya ultra violet. Dari titik ini penghantaran dengan cara radiasi berhenti dan energi kemudian diangkut secara konveksi.

Gbr 2. Struktur lapisan matahari.


Jadi untuk bintang-bintang sekelas matahari atau yang lebih kecil, lapisan radiasi dominan di bagian inti sementara lapisan konveksi dominan di bagian luar.

Struktur bintang yang lebih masif dari matahari

Gbr 3. Perbandingan massa bintang


Pada bintang-bintang bermassa lebih besar daripada matahari, reaksi CNO yang sangat peka pada temperatur membuat gradien temperatur di inti sangat besar. Semakin dalam kita masuk ke lapisan-lapisan di bagian inti maka semakin tinggi temperatur, sehingga semakin cepat reaksi berlangsung. Semakin cepat reaksi berlangsung, berakibat pada semakin tingginya temperatur, begitu seterusnya, sehingga perbedaan temperatur antar lapisan di bagian inti menjadi begitu besar yang membuat pengangkutan energi di pusat diangkut dengan cara konveksi. Tempat terjadinya konveksi ini di sebut pusat konveksi. Karena laju raksi yang cepat ini, hidrogen di pusat bintang akan habis dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi akibat adanya aliran konveksi, bagian pusat akan diisi kembali oleh hidrogen bagian luar yang reaksinya lebih lambat, sedang materi di pusat akan terbawa keluar. Pengadukan yang berlangsung terus menerus ini menyebabkan komposisi kimia di dalam pusat konveksi seragam. Dengan begitu hidrogen akan habis secara serentak dalam seluruh pusat konveksi itu.

Energi yang begitu besar yang dibangkitkan dari reaksi CNO membuat bagian luar bintang juga memiliki temperatur yang tinggi sehingga hampir semua atom hidrogen berada dalam keadaan terionisasi. Hal ini menyebabkan foton-foton ultra violet tidak menemui ’halangan’ dan lolos begitu saja, sehingga penghantaran energi dengan cara radiasi lebih dominan di bagian kulit bintang.

Jadi untuk bintang-bintang yang lebih masif daripada matahari, lapisan radiasi dominan di bagian kulit/luar sementara lapisan konveksi dominan di bagian inti.

Akibat reaksi pembakaran hidrogen, jumlah helium di pusat bintang bertambah. Timbunana helium di pusat bintang ini disebut pusat helium. Terjadi pengerutan gravitasi secara perlahan pada pusat helium itu. Energi yang dibangkitkan akibat pengerutan itu kecil sekali hingga gradien temperatur di situ kecil. Dengan kata lain pusat helium ini bersifat isoterm (suhunya sama di semua tempat). Schonberg dan Chandrasekhar mendapatkan bila massa pusat helium ini mencapai 10 hingga 20% massa bintang, gradien tekanan tak dapat mengimbangi berat bagian luar bintang. Pusat helium tidak lagi mengerut dengan perlahan tetapi runtuh dengan cepat. Massa kritis pusat helium agar hal ini terjadi disebut batas Schonberg Chandrasekhar. Saat itu struktur bintang berubah secara hebat. Bagian luar bintang akan memuai dengan cepat. Bintang berevolusi menjadi bintang raksasa merah.

Matahari atau bintang memancarkan cahaya ke segala penjuru, yang berarti memancarkan radiasi elektromagnetik. Jika setiap saat memancarkan cahaya. Kalau matahari tiap detik memancarkan tenaga 400. 000. 000.000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. erg ( satu erg sama dengan 1/10.000.000 wat), maka matahari berkekutan 40.000.000.000.000.000.000.000.000 wat. Dari mana matahari mendapatkan tenaga yang sangat besar, tidak lain dan tidak bukan dari badannya sendiri. Hal ini sesuai dengan rumus E = mc2 dimama


E = tenaga atau energy

m = maassa

c = kecepatan cahaya

Dalam badan matahari terdapat fusi hydrogen dan kemudian menjadi helium. Akibat penyatuan dari hydrogen ini maka timbullah tenaga. Matahari menhabiskan hydrogen sebanyak 657 juta ton untuk mengubah menjadi 652 juta ton helium per detik. Jika tiap detik terjadi perubahan helium 4,5 juta ton dari tenaga itu berupa fo on atau cahaya yang memancar dari seluruh permukaan matahari, itu beratri tarti tiap detiknya matahari memancarkan cahaya sama dengan 4x10 12 x 9x 10 21 erg atau 36x 10 31 atau 3,6 x 10 25 watt. Kalau dihitung dari fusi 657 juta ton hydrogen iti berartimemberikan tenaga sebanyak 6,57 x 10 13 x 6,4 x 10 18= 4,2 x 10 25 watt, merupakan tenaga yang dihasilkan matahari tiap detik.


  1. Lahirnya Sebuah Bintang

Ruang di antara bintang-bintang tidak kosong. Disitu terdapat materi berupa gas dan debu yang disebut materi antar bintang. Di beberapa tempat materi antar bintang dapat dilihat sebagai awan antar bintang yang tampak terang bila disinari oleh bintang-bintang panas di sekitarnya, atau bisa juga tampak gelap bila awan itu menghalangi cahaya bintang atau awan di belakangnya. Kerapatan awan antar bintang sangat kecil, jauh lebih kecil daripada udara di sekeliling kita. Walaupun demikian suatu awan antar bintang mempunyai volume yang sangat besar, sehingga materi di situ cukup banyak untuk membentuk ribuan bintang. Dan memang materi antar bintang merupakan bahan mentah pembentukan bintang awan antar bintang disebut nebula contohnya Nebula Orion dan Nebula Cakar Kucing.

Cat’s paw nebula atau nebula cakar kucing, NGC 6334 merupakan tempat yang sangat besar dimana bayi-bayi bintang berada. Area kelahiran ratusan bintang masif. Dalam citra yang sangat indah yang dipotret Visible and Infrared Survey Telescope for Astronomy (VISTA) milik ESO di observatorium Paranal di Chile, awan debu dan gas yang bersinar yang selama ini menutup pandangan ditembusi sinar inframerah sehingga sebagian bintang muda yang ada di balik cadar debu dan gas itupun tampak.

Gbr 1. Lahirnya sebuah bintang


Mengarah pada jantung Bima Sakti atau pada jarak 5500 tahun cahaya dari Bumi di rasi Scorpius, nebula cakar kucing merentang sepanjang 50 tahun cahaya. Pada cahaya tampak, gas dan debu diterangi oleh bintang muda nan panas sehingga tercipta bentuk kemerah-merahan yang aneh sehingga obyek ini tampak seperti cakar kucing. Citra yang baru dipotret Wide Field Imager (WFI) milik ESO di observatorium La Silla memberikan gambaran mendetil dari cahaya tampak tersebut. Dan yang terlihat adalah NGC 6334 sebagai area berisi bayi bintang masif yang paling aktif di galaksi Bima Sakti.

Gas-gas antar bintang ini terbentang dalam ruang sebesar beberapa parsec dan massanya bisa ribuan kali massa matahari. Karena gas-gas ini kerapatannya tinggi dan bermassa besar, gravitasi mendominasi dinamika internal awan-awan gas sehingga awan dapat runtuh ke arah pusat dan memulai proses pembentukan bintang. Gaya gravitasi memegang peranan sangat penting dalam proses pembentukan bintang.

Kenyataannya, ada gaya lain selain gravitasi yang juga mempengaruhi kelahiran bintang. Setidaknya itulah yang jadi hasil penelitian terbaru dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics. Penelitian ini menunjukkan keberadaan medan magnet kosmik memainkan peran yang lebih penting dalam pembentukan bintang. Dalam pembentukan bintang, gravitasi menyokong prosesnya dengan menarik seluruh materi menjadi satu, untuk itu harus ada gaya tambahan yang menghalangi proses tersebut. Medan magnetik dan turbulensi menjadi dua kandidat utama. Medan magetik ini diproduksi oleh muatan listrik yang bergerak. Bintang dan sebagian besar planet (termasuk Bumi), menunjukkan keberadaan medan magnet tersebut. Saluran medan magnet dalam pembentukan bintang akan mengalirkan gas dan membuatnya jadi lebih sulit untuk menarik gas dari semua arah, sementara turbulensi mengendalikan gas dan menyebabkan tekanan kearah luar yang menentang gravitasi. Hua-bai Lo dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics menyatakan kalau debat mengenai medan magnet versus turbulensi ini sudah cukup lama terjadi. Namun bukti akan keberadaannya baru ditemukan oleh mereka lewat pengamatan.

Pengamatan tersebut menunjukan inti awan molekul yang berada dekat satu sama lain, terhubung bukan hanya oleh gravitasi namun juga oleh medan magnetik. Dengan demikian pemodelan yang dilakukan untuk pembentukan bintang harus menyertakan medan magnetik yang kuat.

Kombinasi antara turbulensi dalam awan dan energi magnetik dalam awan menghambat proses keruntuhan ini dengan cukup efektif, namun di titik-titik paling rapat dalam awan gas tersebut dapat terjadi pelemahan medan magnetik dan jabang bayi bintang (protobintang) dapat terbentuk. Oleh suatu peristiwa hebat, misalkan ledakan bintang atau pelontaran massa oleh bintang, di suatu tempat sekelompok materi antar bintang menjadi lebih mampat dari pada di sekitarnya. Bagian luar awan ini akan tertarik oleh gaya gravitasi materi di bagian dalam. Akibatnya awan ini mengerut dan menjadi makin mampat. Peristiwa seperti ini kita sebut sebagai kondensasi.

Agar terjadi kondensasi, massa yang diperlukan tidak usah terlalu besar., beberapa ratus massa matahari sudah cukup. Jadi, di dalam awan yang bermassa beberapa ratus massa matahari ini akan terjadi kondensasi yang lebih kecil. Pada setiap kondensasi kerapatan awan dalam gas bertambah besar. Riwayat gumpalan awan induk akan terulang lagi di dalam kelompok awan yang lebih kecil itu. Di situ akan terjadi kondensasi yang lebih kecil lagi. Demikian seterusnya. Peristiwa ini disebut fragmentasi. Awan yang tadinya satu terpecah menjadi ratusan bahkan ribuan awan dan setiap awan mengalami pengeruatan gravitasi. Pada akhirnya suhu menjadi cukup tinggi sehingga awan-awan itu akan memijar dan menjadi ‘embrio’ atau ‘jabang bayi suatu bintang dan disebut protobintang.

Pada saat itu materi awan yang tadinya tembus pancaran menjadi kedap terhadap aliran pancaran. Energi yang dihasilkan pengerutan yang tadinya dengan bebas dipancarkan keluar sekarang terhambat. Akibatnya tekanan dan temperatur bertambah besar sehingga proses pengerutan menjadi lambat dan proses fragmentasi akan terhenti.

Namun jabang bayi bintang-bintang ini diamati tidak terbentuk sendirian, namun terbentuk bersama-sama jabang-jabang bintang lainnya. Jadi sebuah awan gas raksasa ini dapat membentuk banyak jabang-jabang bintang yang akhirnya saling terikat secara gravitasional membentuk gugus bintang. Bila gugus bintang sudah terbentuk, angin bintang yang mereka hembuskan akan meniup sisa-sisa gas antar bintang yang masih ada. Gugus Pleiades adalah salah satu gugus bintang-bintang muda yang masih menyisakan awan antar bintang yang membentuk gugus tersebut.

Bintang muda yang panas memancarkan energi dan mengionisasikan gas di sekitar bintang. Akibatnya bintang dilingkungi oleh daerah yang mengandung ion hydrogen (disebut daerah HII) yang mengembang dengan cepat. Pemuaian selubung ion hidrogen ini dapat berlangsung secara supersonik (lebih cepat dari kecepatan rambat gelombang bunyi di situ) hingga menimbulkan gelombang kejut. Gas dingin di sekitarnya akan mengalami pemampatan hingga terbentuk kondensasi dan

Gbr 2. Proses pembentukan bintang


terbentuklah bintang baru. Bintang baru ini akhirnya juga akan dilingkungi oleh daerah HII yang mengembang cepat. Bintang lebih baru akan terbentuk lagi sebagai akibat dorongan gas yang memuai ini. Begitu seterusnya, pembentukan bintang berlangsung secara berantai. Hal ini sesuai dengan pengamatan Blaaw. Di beberapa daerah asosiasi OB terlihat adanya sederetan subkelompok bintang muda. Subkelompok yang bintang-bintangnya paling tua tersebar berada di salah satu ujung deretan, sedang subkelompok yang paling muda berada di ujung lainnya. Jadi proses pembentukan bintang merupakan reaksi berantai. Pembentukan bintang di suatu tempat akan memacu pembentukan bintang di tempat lain.

Proses yang terbentuk pada kelahiran bintang tidak banyak berbeda pada proses pembentukan matahari, karana matahari sebenarnya adalah sebuah bintang. Ruang antara bintang sebenarnya tidak kosong sama sekali melinkan terisi oleh awn gas dan debu meskipun kerapatnya kecil sekali. Runag antara bintang jauh lebih hampa daripasa ruang hampa terbalik yang biasa dibuat dilaburatorium karena dalam ruang antar bintang berukuran 1juta meter kubik bisa hanya berisi satu partikel. Meskipun demikian kerapatan sekecil itu tidak memustahilkan ternentuknya sebuah bintang karena kerapatan awan antara bintang tidak lah merata ada yang renggang dan ada yang mampat. Bintang-bintang biasanya terbentuk di daerah yang mampat.

Awan yang ada diruang antar bintang saling terik menarik sesamanya dan terikat secara grafitasi sehingga awan-awan gas (calon bintang atau proti bintang) mengerut oleh gaya grafitasi. Biasanya pengerutan awan antar bintang dipicu oleh gelombang kejut akibat ledakan antar bintang (nova atau supernova) disekitar awan gas. Adanay pengerutan menyebabkan tumpukan antar partikel semakin besar sehingga timbullah panas. Panas yang muncul semakin tinggi sampai suatu titik ketika dipusat bintang terjadi suatu reaksi fusi termonuklir (penggabungan unsur2 ringan menjadi unsure unsure yang lebih berat dengan melepas energi). Reaksi fusi termonuklir ini yang mengakibatkan bintang bisa bersinar dan memancarkan radiasi. Reaksi fusi jug amenyebabkan bintang menjadi stabil dna tidak mengerut lebih jauh karena gaya grafitasi yang cenderung mengerutkan bintang diimbangi oleh radiasi dri dalam bintang. Grafitasi mementukan apakah akan terbentuk suatu bintang atau tidak. Bila masanya kecil, grafitasi yang ada tidak cukup besar untuk memanaskan inti binatnga sehinggareaksi termonuklit tidak terjadi.

Bintang dikatakan baru lahir saat terjadi reaksi termonuklit di pusatnya dan bintang langsung masuk kederet utama diagram Herzaprung-Russell. Tahap yang berlangsung antara tahap dimulai pemanansan di inti bintang yang mambangkitkan reaksi termonuklir dan saat bitang masuk deret utama dinamakan tahap praderet utama.


  1. Evolusi Deret Utama

Bintang menghabiskan sekitar 90% umurnya untuk membakar hidrogen dalam reaksi fusi yang menghasilkan helium dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi di intinya. Pada fase ini bintang dikatakan berada dalam deret utama dan disebut sebagai bintang katai putih


Jejak evolusi pra deret utama

Secara teori kita dapat mengikuti jejak evolusi bintang pada diagram HR. Jadi bila berdasarkan pengamatan dapat kita ketahui letak suatu bintang dalam diagram HR, kita dapat memperoleh informasi, pada tahap apa bintang tersebut. Suatu proto bintang yang telah mengakhiri proses fragmentasinya akan terus mengerut akibat gravitasinya. Pada awalnya temperatur dan luminositasbintang masih rendah, dalam diagram HR letaknya di kanan bawah (titik A). Hayashi menunjukan bahwa bintang dengan temperatur efektif terlalu rendah tidak mungkin berada dalam keseimbangan hidrostatik. Dalam diagram HR daerah ini disebut ‘daerah terlarang Hayashi’ (daerah yang di arsir). Protobintang barada di daerah itu. Pada mulanya kerapatan materi protobintang seragam, tetapi kemudian materi makin rapat ke arah pusat. Materi protobintang sebagian besar adalah hidrogen. Pada temperatur yang rendah hidrogen kebanyakan berupa molekul H2. Dengan meningkatnya temperatur tumbukan antar molekul menjadi makin sering dan makin hebat. Pada temperatur sekitar 1500 K terjadi penguraian (disosiasi) molekul hidrogen menjadi atom hidrogen. Untuk menyediakan energi cukup besar bagi berlangsungnya disosiasi itu protobintang mengerut lebih cepat. Pada temperatur yang makin tinggi akan terjadi proses ionisasi pada atom hidrogen dan helium. Proses ini pun menyerap energi sehingga pengerutan yang cepat berlangsung terus. Pengerutan dengan laju besar ini berakhir bila semua hidrogen dan helium di dalam telah terionisasi semua.

Evolusi protobintang ditandai dengan keruntuhan cepat (hampir seperti jatuh bebas). Pada akhirnya protobintang menyeberang daerah terlarang Hayashi (titik B). Kita sebut protobintang itu dengan bintang pra deret utama. Luminositas bintang sangat tinggi karena maeri masih renggang sehingga energi bebas terpancar keluar. Bintang akan mengerut dengan laju yang lebih lambat menyusuri pinggir luar daerah terlarang Hayashi. Jejak evolusinya hampir vertikal (Te hampir tak berubah), jejak ini dikenal sebagai jejak Hayashi. Karena temperatur efektifnya yang rendah, hampir seluruh bintang berada dalam keadaan konveksi. Bintang mengerut dengan jejarinya mempunyai harga terbesar yang dibolehkan oleh keseimbangan hidrostatik.

Karena kekedapan (atau koefisien absorpsi R), menurun dengan naiknya temperatur (hukum Kramers) gradien temperatur di pusat bintang juga menurun hingga berlakulah keadaan setimbang pancaran di pusat bintang. Terbentuklah pusat yang energinya diangkut secara pancaran di dalam bir tang (disebut pusat pancaran). Dengan makin besarnya pusat pancaran, yang kekedapannya kecil, maka bintang pun makin berkurang kekedapannya. Lebih banyak energi yang mrengalir secara pancaran. Hal ini ditandai dengan naiknya luminositas (titik C). Karena bintang tetap mengerut selama luminositasnya meningkat, permukaannuya menjadi lebih panas, bintang bergerak ke atas dan ke kiri dalam diagram HR. Laju evolusi pada tahap ini jauh lebih lambat daripada sebelumnya. Pada akhirnya temperatur di pusat bintang cukup tinggi untuk berlangsungnya pembakaran hidrogen. Pada saat itu tekanan di dalam bintang menjadi besar dan pengerutan pun berhenti. Bintang menjadi bintang deret utama (titik D). Tahap evolusi sebelum mencapai deret utama itu kita sebut tahap praderet utama.

Waktu yang diperlukan sebuah bintang berevolusi dari awan antar bintang menjadi bintang deret utama bergantung pada massa bintang itu. Makain besar massa suatu bintang, makin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai deret utama bagi bintang dengan berbagai massa.

Kemungkinan kita mengamati suatu bintang pada suatu tahap evolusi bergantung pada lamanya tahap evolusi tersebut. Karena tahap evoluisi pra deret utama bintang yang bermassa besar berlangsung sangat singkat, kemungkinannya lebih besar bagi kita mengamati tahap pra deret utama bintang dengan massa yang kecil.

Bila massa bintang terlalu kecil, suhu di pusat bintang tak pernah cukup tinggi untuk berlangsung reaksi pembakaran hidrogen. Batas massa untuk ini bergantung pada kompisis kimia , umumnya sekitar 0,1 . Bintang dengan massa lebih kcil dari batasmassa ini akan mengerut dan luminositasnya m,enurun. Bintang akhirnya mendingin manjadi bintang katai gelap tanpa mengalami reaksi inti yang berrti.



Evolusi di deret utama.

Energi yang dipancarkan bintang pada tahap pra deret utama dari pengerutan gravitasi. Temperatur di pusat bintang manjadi makin tinggi sebagai akibat pengerutan gravitasi. Pada temperatur sekitar 10 juta derajat, inti hiddrogen mulai bereaksi membentuk helium. Energi yang dibangkitkan oleh reaksi intimenyebabkan tekanan di dalam bintang menahan pengerutan bintang dan bintang menjadi mantap. Pada saat itu bintang mancapai deret utama berumur nol. Komposisi kimia bintang pada saat itu homogen (samadgn pusat hingga ke permukaan) dan masih mencerminkan komposisi awan antar bintang yang membentuknya. Energi yang dipancarkan bintang terutama berasal dari reaksi inti yang berlangsung di pusat bintang. Deret utama merupakan kedudukan bintang dengan reaksi inti dipusatnyayg komposisinya kimianya masih homogen. Ditemuinya bintang raksasa merah yang letaknya dalam diagram HR jauh dari deret utama menunjukan komposisi kimia bintang tersebut tidak lagi homogen.

Dengan perlahan terjadi perubahan komposisi kimia di pusat bintang. Hal ini berakibat perubahan struktur bintang dengan perlahan. Bintang menjadi lebih terang, jejari bertambah besar dan temperaturnya efektifnya berkurang, namun belum bergeser terlalu jauh dari deret utama. Andaikan 10 persen hidrogen di pusat sudah habispun bintang tidak akan lebih dari dua kali terangnya, begitu juga temperatur efektifnya tidak akan turun lebih dari sepersepuluh kalinya. Tahap evolusi disebut tahap deret utama yang bermula dari deret utama berumur nol.

Struktur dalam bintang pada tahap deret utama tergantung pada masa bintang. Begitu pula masa evolusi lanjut bintang dimulai dan ditentukan oleh masa awan pembentuk bintang dan masa bintang. Makin besar masanya maka enolusinya semakin cepat untuk meninggalkan deret utama.

gbr 3. Struktur bintang pada deret utama

  1. Tahap Evolusi Lanjut

    Suatu bintang yang telah menggunakan bahan bakar hidrogennya akan bergantung pada massa bintang itu sendiri. Bila pembakaran hidrogen terhenti maka pengerutan gravitasi berlangsung lagi yang menyebabkan suhu bintang meningkat lagi. Hal ini memungkinkan terjadinya reaksi fusi helium dan unsur-unsur yang lebih berat lainnya. Bintang yang telah memasuki usia tua akan segera menghabiskan energi fusi yang tersedia dan bintang kehabisan energi dan akan mati. Proses ini bisa terjadi dengan membuang sisa-sisa energinya secara perlahan-lahan dan berangsur menjadi bintang katai putih, atau bisa juga mengerut menjadi bintang dengan kerapatan yang amat besar, menjadi bintang neutron ataukah black hole. Penghabisan sisa energi ini bisa juga dengan cara menghamburkan seluruh sisa energi dan seluruh materinya dalam suatu ledakan yang maha dahsyat yang disebut nova atau supernova.

    Dalam awal lahirnya alam semesta ini, materi yang mula-mula dihasilkan terdiri dari hidrogen 75% dan helium 25%. Sedang unsur-unsur kimia lainnya terbentuk dalam bintang itu sendiri melalui reaksi nuklir yang terjadi pada bagian dalam bintang itu sendiri. Suhu pembakaran untuk memungkinkan terjadinya reaksi ini adalah sekitar 107 K. Ketika hidrogen berubah menjadi helium dan mencapai batas Schonberg, tekanan radiasi tidak mampu lagi menahan tarikan gravitasi sehingga terjadi lagi pengerutan gravitasi. Pada suhu yang setinggi ini energi kinetik termal sudah cukup mengatasi penolakan Coulomb dari inti helium sehingga kini memungkinkan berlangsungnya reaksi fusi helium. Dalam proses ini tiga inti helium diubah menjadi inti karbon 12C melalui dua langkah sebagai berikut:

    4He + 4He 8Be

    8Be + 4He 12C

    Reaksi diatas ini dinamakan pula reaksi triple alpha. Energi yang dihasilkan dengan proses ini adalah 7,3 MeV atau sekitar 0,6 MeV per nukleon. Harga ini jauh lebih kecil dari pada proses pembakaran Hidrogen yang menghasilkan energi 6,7 MeV per nukleon.

    Gbr 5. Evolusi bintang di deret utama menuju tingkat raksasa merah

  1. Menuju Raksasa Merah

    Bila sutau bintang telah mulai menghabiskan bahan bakar hidrogennya sehingga bintang itu sendiri kebanyakan helium, maka fusi hidrogen tidak bisa terjadi lagi. Akibatnya tekanan radiasi tidak lagi mampu menahan keruntuhan gravitasi. Oleh karena itu pusat helium mulai runtuh sehingga terjadi lagi perubahan energi potensial gravitasi menjadi energi kinetik termal sehingga pusat bintang bertambah panas. Kerapatan pusat bintang meningkat dari 100 gr/cm3 menjadi sekitar 105 gr/cm3 dan suhu naik menjadi 108K. Pada tingkat suhu ini mulai terjadi fusi helium menjadi unsur-unsur ruang lebih berat seperti karbon, oksigen, dan neon. Proses ini dinamakan pula dengan proses pembakaran helium. Menurut hukum Stfaan-Boltzmann

    W = T4

    Karena energi per satuan luas W berkurang maka suhunya T juga berkurang. Dengan demikian kini permukaan bintang suhunya menjadi semakin rendah sehingga cahayanya menjadi semakin merah. Jadi pada tahapan ini bintang menjadi bintang yang sangat besar dan dengan cahaya yang kemerahan sehingga disebut raksasa merah. Matahari juga dalam evolusinya nanti juga akan mencapai tahap raksasa merah dan pada saat itu jejari matahari akan sampai ke orbit Venus.

    Bintang dalam tahap raksasa merah akan terus membakar helium dan mungkin juga unsur-unsur yang lebih berat sampai siklus fusi ini berakhir dengan pembentukan inti besi 56Fe. Oleh karenanya pusat bintang kerapatannya menjadi semakin besar, sementara itu materi sekitarnya makin kehabisan hidrogen dan mengerut mengumpul di pusat bintang. Hal ini menyebabkan pusat bintang makin kecil dan makin panas sampai suhunya cukup tinggi untuk memenuhi terjadinya reaksi triple alpha.

    Matahari kita dalam 5 hingga 8 milyar tahun lagi akan juga mencapai tingkat raksasa merah dan jejarinya mencapai orbit Venus. Pada keadaan ini permukaan matahari sudah sangat dekan dengan bumi sehingga ini akan menyebabkan suhu di bumi menjadi sangat tinggi dan sudah tentu keadaan ini akan menghancurkan seluruh kehidupan di bumi ini, suatu akhir dari kehidupan di bumi, ataukah ini yang dinamakan dunia kiamat?

  2. Menjadi Bintang Katai Putih (white dwarf)

    Cepat atau lambat bintang akan kehabisan energi nuklirnya. Kemudian bintang mengerut dan melepaskan energi potensialnya. Akhirnya bintang yang mengerut ini mencapai kerapatan yang luar biasa besarnya, dan menjadi bintang yang kecil dan mampat dengan kerapatan massa mencapai 103 kg/cm3 dan suhu permukaanya mencapai 104K. Bintang yang seperti ini dinamakan Katai Putih atau White Dwarf.

    Dalam keadaan yang mampat ini, atom-atom sangat rapat satu dengan yang lainnya sehingga fungsi elektronnya mulai tumpang tindih. Oleh karena itu terjadilah degenerasi energi elektron. Energi degenerasi ini menghasilkan gaya tolakan yang cenderung melawan tumpang tindih elektron itu.

    Bintang katai putih merupakan keadaan materi yang sangat luar biasa, kerapatannya sekitar 106 gr/cm3, dan kerapatan pusatnya mungkin mendekati 108 gr/cm3. Ini berarti 1 cm3 zat seperti itu di bumi beratnya 100 ton. Jadi bintang katai putih mencapai kesetimbangan hidrostatik yang menyebabkan bintang ini stabil dihasilkan oleh tekanan degenerasi elektron. Ini berarti kestabilan ini tidak bergantung pada suhu tetapi hanya bergantung pada kerapatannya. Oleh karena itu ukuran katai putih itu bergantung pada massanya, makin besr massanya makin kecil ukurannya. Sebuah katai putih yang massanya satu kali massa matahari maka jejarinya sekitar satu persen dari jejari matahari, atau sekitar sama dengan jejari bumi. Makin lebih besar massanya dar massa matahari maka jejarinya makin lebih kecil dari satu persen jejari matahari, dan akhirnya mencapai massa sekitar 1,4 massa matahari yang merupakan batas massa katai putih dalam kesetimbangan. Perhitungan ini ditemukan oleh S. Chandrasekhar, maka massa batas 1,4 M ini dinamakan limit Chandrasekhar.

    Jadi untuk bintang yang berevolusi ke tingkat katai putih, massa aslinya haruslah lebih dari 1,4 M karena selama evolusinya dia kehilangan bahan bakar nuklirnya dan melepaskan sebagian materinya ke ruang angkasa. Karena katai putih terus memancarkan energinya maka lama-kelamaan dia kehabisan sumber energi nuklirnya. Sehingga makin lama katai putih berubah menjadi katai merah, dan akhirnya berhenti bersinar dan menjadi bintang dingin yang gelap dengan massa gas terdegenerasi. Pada tahap akhir ini dikatakan bintang menjadi katai hitam atau black dwarf.

    Gbr 4. Katai putih yang mengorbit Sirius

  3. Terjadinya Nova dan Supernova

    Sering terjadi suatu bintang dengan tiba-tiba memancarkan ledakan cahaya, luminositasnya meningkat sampai terlihat dengan mata telanjang seakan muncul suatu bintang baru. Kejadian ini dinamakan Nova. Cahaya nova ini bisa tetap terang sampai beberapa hari atau beberapa minggu, lalu kemudian perlahan memudar.

    Menurut teori terbaru, nova terjadi dalam sistem bintang ganda yang berdekatan dimana tingkat evolusi akhirnya dipengaruhi oleh pasangannya. Bila kedua pasangan bintang ganda itu memiliki massa yang berbeda, yang lebih besar akan berevolusi lebih cepat dan lebih dahulu mencapai tingkat katai putih. Ketika anggota yang kedua mengembang menjadi raksasa merah maka akan terjadi aliran materi, berupa bahan kaya hidrogen, dari lapisan luar angkasa merah menuju ke katai putih (untuk selama tahunan sampai ratusan tahun). Penimbunan materi ini menyebabkan kenaikan suhunya sampai mendekati bagian dalam katai putih yang terdegenerasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan, yang secara eksplosif menyulut pembakaran hidrogen melalui daur CNO sehingga terjadi suatu ledakan energi dan hamburan materi yang telah terakumulasi pada katai putih itu. Luminositasnya meningkat dengan cepat sampai puluhan ribu kali lebih terang sehingga sepertinya tampak di langit tercipta bintang baru. Oleh karena itu, diberi nama “novae” yang artinya baru.

    Kebanyakan nova tidak tampak oleh mata telanjang meskipun pada terang maksimumnya yang dapat mencapai magnitudo mutlak -6 sampai -9 karena jaraknya yang sangat jauh. Meskipun diperkirakan tiap tahunnya pada galaksi kita terjadi beberapa puluh ledakan nova, tetapi kebanyakan tidak tampak oleh mata telanjang. Contoh nova yang tampak oleh mata telanjang antara lain nova herculis pada tahun 1934, dan nova pupis pada tahun 1942.

    Tiga supernova yang sangat terkenal yang teramati selama milenium kedua dalam galaksi kita adalah:

  1. Supernova tahun 1054 di rasi Taurus (seperti yang disebutkan dalam almanak cina).

  2. Bintang Tycho tahun 1572 di rasi Cassiopiea

  3. Supernova tahun 1604 di rasi Serpen yang disebutkan oleh Kepler dan Gellileo.

    Supernova yang paling terkenal adalah yang diamati oleh orang China tahun 1054 di rasi Taurus. Supernova ini mungkin juga diamati oleh orang-orang Indian di Amerika Barat Daya. Supernova ini tampak dengan mata telanjang di siang hari sampai beberpa minggu dari 5 Juli 1054, bahkan waktu malam tampak di langit sampai April 1056. Kabut kepiting (Crab Nebula) di rasi Taurus diperkirakan merupakan sisa dari ledakan supernova 1504. Kabut kepiting ini juga dikenal sebagai sumber gelombang radio, radiasi infra merah, sinar-X dan sinar gamma yang kuat. Bahkan tahun 1968 ditemukan bahwa kabut ini berisikan objek yang aneh, suatu jenis bintang baru yang dinamakan “pulsars”, singkatan dari “pulsating radio source”.

    Gbr. Crab Nebula di rasi Taurus.

  1. Bintang Neutron

    Mekanisme keruntuhan bintang menjadi bintang neutron disebabkan karena pengerutan inti oleh gaya gravitasi yang sangat besar yang menyebabkan bintang mengerut dengan cepat menjadi bintang neutron yang sangat mampat.

    Dalam reaksi peluruhan beta balik yaitu penangkapan elektron oleh proton sebagai berikut

    e- + p n + s + Q

    Dalam reaksi ini harga Q = 0,782 MeV. Harga ini tidak terlalu jauh dari harga EF. Reaksi ini mengakibatkan makin berkurangnya elektron pada bintang tersebut dan ini mengurangi efek larangan pauli. Keadaan ini memungkinkan bintang kembali mengalami pengerutan (dimana R bergantung pada Ne5/3) sehingga energi Fermi menjadi bertambah. Selanjutnya kondisi ini mendorong lebih

    banyak lagi elektron yang energinya mencapai diatas harga Q = 0,782 MeV. Keadaan ini selanjutnya menghasilkan lebih banyak lagi elektron yang tertangkap. Demikian proses ini terus berkelanjutan sampai akhirnya hampir semua elektron telah tertangkap habis dan kini bintang hanyak terdiri dari neutron saja. Dalam keadaan seperti ini, tekanan degenerasi elektron tidak bisa lagi melawan keruntuhan gravitasi sehingga bintang mengerut kembali sampai prinsip larangan Pauli teraplikasikan pada neutron yang kali ini menghasilkan tekanan degenerasi neutron. Tekanan degenerasi neutron inilah yang menahan pengerutan lebih lanjut.

    Untuk bintang yang massanya 1,5 M maka didapat R = 11,0 km dan kerapatannya = 4 X 1014 kg/m3. Kerapatan ini kira-kira sama dengan kerapatan bagian dalam inti atom. Dalam keadaan seperti ini, bintang itu seakan merupakan inti raksasa dengan diamater sekitar 20 km, dan dengan nomor massa sekitar 1057 yang terdiri atas neutron saja. Oleh karena itu bintang yang demikian dinamakan “bintang neutron”.

  2. Black Hole atau Lubang Hitam

    Bila massa bintang 3 kali massa matahari, maka gaya tarikan gravitasinya begitu kuat dan bintang mengerut sehingga diameternya menjadi lebih kecil lagi dan kerapatannya bertambah besar. Gaya yang begitu besar ini mengatasi prinsip larangan Pauli, sehingga terjadi proses keruntuhan gravitasi. Pada proses ini, bintang telah kehabisan bahan bakar nuklirnya dan tidak lagi memancarkan radiasi, dan tekanan materinya tidak mampu lagi menahan gaya tarikan gravitasinya. Gravitasinya menjadi begitu kuat sehingga kecepatan lepas dari bintang itu lebih besar dari pada laju cahaya.

    Jadi tidak ada radiasi yang dapat lepas dari bintang tersebut, sehingga kita bisa mengamatinya. Oleh karena itu objek atau bintang semacam ini dinamakan “black hole” atau “lubang hitam” dan sering diberi sebutan dengan “bintang hantu”.

    Untuk bisa menjadi sebuah “lubang hitam” suatu bintang haruslah mengalami suatu keruntuhan gravitasi, mengerut karena tarikan gravitasinya sendiri sampai lebih kecil atau ada di dalam jejari yang dinamakan “jejari Schwazschild” (Rs).

    Dimana Rs = jejari Schwarzschild, G = konstantan gravitasi umum, c = laju cahaya, dan M = massa bintang. Pada umumnya Rs jauh lebih kecil dari jejari nyata benda yang bersankutan, misalnya untuk matahri Rs = 2,95 km, sedangkan untuk bumi Rs = 9 mm.

    Pada tahun 1976, Laplace seorang ahli matematika prancis telah menyatakan bahwa suatu benda yang memiliki medan gravitasi yang luar biasa besarnya sehingga cahayapun tidak dapat lepas, tetapi dibelokkan menuju ke bintang tersebut. Dia menulis

Suatu bintang yang sangat terang, dengan kerapatan sama dengan bumi, dan diameternya dua ratus lima puluh kali lebih besar dari matahari, sebagai akibat dari gaya tarikannya, tidak mengijinkan setiap sinar sampai kepada kita; karenanya kemungkinan benda besar yang amat terang di alam semesta ini mungkin, karena sebab ini, menjadi tidak kelihatan.

Bagaimana cahaya yang dipancarkan oleh bintang itu bisa terperangkap di dalam bintang itu sendiri sehingga tidak ada radiasi ke luar?

Kita telah tahu ada bintang neutron yang kerapatannya amat besar serta gravitasi permukaannya sangat kuat. Misalnya suatu berkas cahaya dipancarkan dari permukaan bintang neutron. Cahaya yang tegak lurus permukaannya, merambat secara radial dari bintang tersebut. Tetapi cahaya yang membentuk sudut tertentu, misalnya 30o terhadap garis norma, maka karena pelenturan gravitasi cahaya akan meninggalkan bintang dengan sudut yang lebih besar dari 30o. Bila bintang mengerut menjadi lebih kecil lagi dan lebih rapat dari bintang neutron, maka gravitasi permukaanya bertambah dan pembelokan cahaya juga bertambah besar. Akhirnya bintang mencapai ukuran dimana berkas cahaya horizontal memasuki orbit lingkaran. Permukaan pada jejari demikian itu dinamakan bola foton atau foton sphere.

Bila bintang mengerut menjadi lebih kecil dari bola foton ini, maka untuk bisa lepas dari bintang, cahaya harus memancar dalam suatu kerucut tegak lurus permukaan dengan sudut dan cahaya yang memancar dengan sudut yang lebih besar dari sudut ini akan jatuh kembali ke bintang. Bila bintang mengalami keruntuhan maka sudut menjadi makin kecil. Bila jejari bintang sampai dua per tiga dari bola foton, maka akan menjadi nol dan tidak ada lagi cahaya yang dapat lepas sama sekali. Pada titik ini kecepatan lepas ve dari bintang sama dengan laju cahaya c.

Bila bintang lebih mengerut lagi, maka cahaya dan apa saja yang lainnya akan terperangkap di dalam, tidak bisa lepas melalui permukaan itu. Permukaan dimana kecepatan lepas sama dengan laju cahaya dinamakan cakrawala kejadian atau event horizon dan jejarinya dinamakan jejari Scwarzschild. Permukaan inilah yang merupakan tapal batas dari “lubang hitam”. Semua yang ada di dalam Rs ini, bahkan bintang yang paling terang sekalipun akan lenyap dari pandangan alam lainnya.

Gbr 6. Black hole


Permasalahan dan Solusi


  1. Permasalahan

  1. Black hole atau lubang hitam merupakan salah satu bagian dari tahap evolusi bintang. Black hole ini menjadi masalah dalam evolusi bintang karena pada kenyataannya lubang hitam ini sulit untuk dideteksi.

  1. Solusi

  1. Langkah yang paling baik untuk meneliti “lubang hitam” ini adalah pada sistem bintang ganda yang salah satu pasangannya adalah “lubang hitam” dan anggota yang lainnya bisa dilihat. Bintang yang tampak itu dapat diidentifikasi sebagai bagian dari suatu bintang ganda karena adanya suatau pergeseran Doppler yang periodik pada spektrum cahayanya. Ini menunjukkan gerak mengorbit bintang ini mengelilingi pusat massa. Massa anggotanya yang terlihat dapat dihitung dari jenis spektrumnya, sedangkan fungsi massa dapat ditentukan dari periode dan laju orbitnya, sehingga dengan demikian dapat ditentukan massa dari anggota yang tak terlihat (M). Bila harga M ini melampaui 3 M® (suatu massa kritis untuk keruntuhan gravitasi), benda yang tak terlihat itu mungkin “lubang hitam”. Cara lain untuk menemukan adanya lubang hitam adalah dengan melacak “gelombang gravitasi” yang dihasilkan oleh perubahan medan gravitasi yang sangat cepat yang berkait dengan pembentukan “lubang hitam”. Dewasa ini telah tersedia alat yang sangat peka untuk melacak adanya gelombang gravitasi tersebut.



    Daftar Pustaka

Admiranto, A. Gunawan. 2000. Tata Surya dan Alam Semesta. Yogyakarta: Kanisius.

Ritonga, A. Rahman. 1980. Rahasia Alam Semesta. Jakarta: Monora.

Suwitra, Nyoman. 2001. Astronomi Dasar. Singaraja: penerbit IKIP Negeri Singaraja

Winardi, S. 1984. Astofisika. Bandung: Penerbit ITB Bandung